Melihat Semeru dari Madura
MEGAH: Gedung Universitas Wiraraja berdiri kokoh di Desa Patean, Kabupaten Sumenep

Melihat Semeru dari Madura

DUARRRR!!! Tentu itu bukan bunyi batuk manusia yang disertai dengan muntah darah atau yang dikenal dengan penyakit TBC (Tuberkulosis), tapi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang kembali "batuk-batuk" dan memuntahkan awan panas yang disertai abu vulkanik pada 16 Januari 2021 (baca, JPNN.com 16/1/21).

Peristiwa itu terus berlanjut, hingga akhirnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan bahwa status Gunung Semeru berada di level II atau waspada. Bahkan, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga langsung meminta supaya masyarakat maupun wisatawan tidak melakukan aktivitas di radius 1-4 kilometer sekitar kawah Gunung Semeru. (Baca, FACTUALNEWS.co 17/01/21).

Berbagai pihak khawatir dengan peristiwa erupsi itu akan mengakibatkan korban jiwa. Apalagi, dua peristiwa sebelumnya masih membekas dalam benak warga Indonesia. Seperti kecelakaan pesawat udara Sriwijaya Air SJ 182 dan gempa bermagnitudo 6,2 yang mengguncang Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Kedua peristiwa itu telah menelan puluhan korban jiwa.

Sehingga peristiwa Gunung Semeru pun membuat deg-degan. Tak hanya karena warga Kabupaten Lumajang yang se-provinsi dengan orang Madura, tapi bagi warga Pulau Garam, orang Lumajang adalah saudara. Tali ikatan persaudaraan itu terjalin saat Adipati Arya Wiraraja atau Banyak Wide dinohaken (dijauhkan) ke Madura timur pada 1269.

Di Madura timur, Arya Wiraraja mendirikan kerajaannya di timur laut Pulau Madura (kalau sekarang Desa Batuputih Daya). Arya Wiraraja menetap di Sumenep sekitar 24 tahun. Kemudian pindah ke Lumajang dengan mendirikan kerajaan Lamajang Tigang Juru pada akhir 1293 dan berkuasa di daerah itu sejak 1294. (baca, Mansur Hidayat: 2013: 85-87).

Salah satu juru (kerajaan bawahan) Lamajang Tigang Juru adalah Madura, sehingga saat Arya Wiraraja pindah ke Lumajang, banyak warga Madura yang juga ikut pindah. Selain karena mereka adalah prajurit Banyak Wide, lahan di Lumajang juga subur, sehingga memungkinkan warga Madura betah untuk bercocok tanam dan menetap.

Berbagai peluang dan kendala di Lumajang tentunya sudah dihitung betul dengan Arya Wiraraja sejak berada di Sumenep. Terbukti, saat Arya Wiraraja pamit kepada Nararya Sangramawijaya, Ia meminta Lamajang sebagai lokasi kerajaannya. Hal itu sesuai dengan janji Sangramawijaya untuk membagi kekuasaannya di Jawa menjadi dua bagian (perjanjian Sumenep).

Arya Wiraraja memilih Lamajang sebagai lokasi kerajaan karena salah satunya, potensi alam di daerah tapal kuda itu subur. Kesuburan itu juga tidak lepas dari abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Semeru. Abu tersebut memiliki dampak positif dalam jangka panjang. Tak heran kalau banyak daerah di Lamajang diberi nama seperti nama pohon.

Seperti Senduro yang berasal dari nama pohon Sindura, Pajarakan yang berasal dari nama pohon Jarak, Pasru Jambe yang berasal dari pohon Jambe, Klakah yang berasal dari bahasa Madura yaitu Klekeh dan sebagainya.

Jadi, kalau warga di sekitar Gunung Semeru diminta untuk pindah, tentu mereka juga akan berpikir ulang. Selain karena belum ada tempat yang menandingi kesuburan tanah Lumajang, nenek moyang mereka sudah akrab dengan wilayah tersebut meski harus berhati-hati saat gunung setinggi 3.676 itu meletus.

Akhir dari tulisan ini, semoga masyarakat di sekitar Gunung Semeru diberi keselamatan. Meski gunung itu sudah terlanjur "batuk", tapi mudah-mudahan tidak sampai mengakibatkan korban jiwa. Semoga juga mereka kembali berutinitas seperti sedia kala. Amin. (*/humas)